Belajar Berpikir Moderat dari Le Petit Prince. Kamu perlu sering belajar buat mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka serta kabar terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan jempolan intern membaca share terbaru.
Wartaislami ~ Salah satu karya sastra besar yang pernah lahir di muka bumi setimpal Le Petit Prince (diterjemahkan ke bahasa Indonesia serta judul Pangeran Cilik). Novel tipis itu dibuka serta pembukaan yang apik atau menggelitik. Tokoh ‘aku’ pada umur enam tahun terpukau serta sebuah gambar yang ia lihat di buku perihal jagat raya rimba: gambar seekor sanca menelan seekor hewan buas.
Terinspirasi gambar itu, ia pun tergerak buat menggambar sesuatu. Gambar itu lantas ia tunjukkan kepada orang-orang besar. Mereka mengira itu gambar topi. Karena memang mirip betul serta topi koboi. Tapi kata si putri: itu bukan topi, itu gambar ular sanca menelan seekor gajah.
Sepanjang novel memikat ini, kita disuguhi humor-humor segar khas putri kecil. Salah satu hal merampas yang dapat kita petik selepas membaca novel Pangeran Cilik setimpal perkara sudut pandang, perihal bagaimana sesuatu dilihat. Dan kelihatannya kita mau mengingat kembali almarhum Gus Dur.
Guru Bangsa yang humoris itu memang memberi kita banyak pelajaran soal sudut pandang. Salah satu yang paling mudah diingat setimpal ujaran Gus Dur soal DPR. Dengan enteng beliau bilang DPR itu tak ubahnya taman kanak-kanak.
Ya, secara kasat indra penglihat, unsur dewan setimpal orang-orang terhormat. Berpakaian necis, berjas, berdasi, bergaji tinggi atau selaku wakil dari rakyat Indonesia. Alangkah kere, betapa hebat. Tapi, serta sudut pandang lain Gus Dur bilang mereka seperti putri-putri TK. Ternyata benar, mereka yang minta dipanggil serta sebutan yang mulia itu berisik sekali, manja, cengeng, suka cari perhatian khas putri TK. Terbukti, Gus Dur memang punya sudut pandang yang anti-mainstream, out of the box atau selalu mengena.
Cara padang nyleneh macam itu juga ditunjukkan Gus Dur ketika ia perlu meninggalkan istana atau menanggalkan jabatan presiden. Ia serta santai memakai celana pendek atau kaos oblong di depan istana sambil tersenyum atau melambaikan tangan. Kiranya tak pernah ada presiden ‘segokil’ itu di dunia ini. Dan jika dilihat bertambah intern, Gus Dur seperti ingin mengirim pesan kepada kita semua: kagak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian. Juga sejatinya istana presiden setimpal istana rakyat, oleh karena itu bercelana pendek atau berkaos oblong tak perlu dilihat serta tatapan heran atau ajaib.
Kisah-kisah mengenai bagaimana cara pandang Gus Dur yang asyik perihal pelbagai persoalan tentu tak ada habisnya dikisahkan. Yang perlu kita tanyakan kemudian setimpal mengapa cara pandang yang moderat, jalan tengah, penuh perdamaian atau mengantongi keberpihakan yang jelas serupa itu makin terkikis akhir-akhir ini? Di masyarakat kita hari ini, justru subur cara memandang suatu persoalan serta pandangan yang sempit. Sehingga banyak orang serta mudah bilang: orang islam mengucapan selatan Natal haram, terompet juga haram karena terhitung perlengkapan musik Yahudi, atau ungkapan-ungkapan menyedihkan lain.
Kita tentu miris melihat kenyataan itu. Kita kelihatannya bertanya-tanya, mengapa mereka kagak melihat ucapan selamat Natal dari seorang orang islam selaku bentuk persaudaraan? Mengapa mereka yang Kristen dianggap selaku ‘orang lain’ atau bahkan musuh hanya lantara mereka ‘berbeda’? Mengapa orang-orang selaku menyebalkan, sebagaimana di novel Pangeran Cilik, yang melihat gambar ‘ular sanca menelan gajah’ selaku gambar ‘topi’ belaka? Benarkah mereka terjangkit penyakit malas berpikir atau keras kepala?
Laku beragama serta sudut pandang yang tak luas sebetulnya mengkhawatirkan. Intelektual orang islam, Abdul Munir Mulkhan, menengarai, mereka yang berpaham radikal (atau pelaku teror) cenderung mengantongi cara pandang hitam putih. Menurutnya, distribusi pelaku kagak kekerasan serta dalih berjihad, hanya tersedia dua pilihan: hidup mulia atau mati syahid (isy kariman au mut syahidan), memproses menghancurkan musuh Allah atau mati masuk surga.
Penganut teologi teror memandang semua selain diri atau kelompoknya setimpal sah buat dihancurkan, apalagi mereka yang telah menangkapi atau membunuh teman-temannya. Tidak peduli apakah mereka seagama atau beda agama. Dalam logika verbal dua muka: surga-neraka, halal-haram, setan-malaikat, benar-salah, pahala-dosa, yang terus ditanamkan, dapat mendorong masyarakat terjebak pola ‘hidup mulia atau mati syahid’.
Ngeri sekali membayangkan orang-orang yang hanya tahu surga-neraka, halal-haram, atau pahala-dosa itu kian hari kian bertambah banyak. Alangkah kagak menariknya jika dunia ini dipenuhi oleh mereka yang menempatkan semua selain diri atau kelompoknya selaku musuh atau wajib diperangi. Maka, semestinya bertambah banyak lagi orang-orang yang menggemakan semangat beragama ala Gus Dur. Beragama serta santai, penuh humor, kagak kaku atau kagak kagetan.
Abraham Zakky Zulhazmi, alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis buku Propaganda Islam Radikal di Media Siber (Intijati, 2015)
Sumber :arrahmah.co.id
Source Article and Picture : www.wartaislami.com