Geliat Islam Pada Periode Wali Songo ( Islam Nusantara 2 ). Kamu mesti sering belajar kepada mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka beserta penjelasan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan utama intern membaca share terbaru.
WartaIslami.com ~ Jakarta, Peran Wali Songo di Indonesia (baca: Nusantara) intern mendakwahkan Islam seperti objek riset yang merampas. Jika dilacak, Sunan Ampel sekeluarga datang ke Nusantara pada 1440-an atau tujuh tahun selesai akhir kedatangan Laksamana Muhammad Cheng Ho pada 1433. Praktis, diasumsikan Sunan Ampel sejak awal sudah berdakwah.
“Tapi belum terlalu kuat serta luas dakwahnya. Saya menghitung kira-kira dakwah Islam terorganisasi yang disebut Wali Songo terbentuk sekeliling tahun 1470-an, yaitu 30 tahun selesai kedatangan Sunan Ampel di Jawa. Saat itu putra-putranya, sela lain, Sunan Bonang serta para santrinya cukup umur,” tutur KH Agus Sunyoto di hadapan para dosen Pascasarjana STAINU Jakarta, Selasa.
Sejarawan NU ini didaulat mempresentasikan risetnya pada rapat kurikulum Islam Nusantara yang menghadirkan para dosen serta pemangku kebijakan Pascasarjana STAINU Jakarta. Rapat yang juga dihadiri Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj tersebut digelar di ruang media center lantai 5 gedung PBNU.
“Kalau kita berangkat tahun 1470 dimulai dakwah sistematis Wali Songo, maka kita mau melihat hasil dari dakwah itu. Tahun 1513, atau 40-50 tahun selesai dakwah Wali Songo, seorang berkebangsaan Portugis datang ke Jawa. Dia mendaftar seluruh Pantai Utara Jawa dikuasai para adipati beragama Islam. Bahkan, di Demak saat itu merupakan pusat Islam,” ungkap Agus Sunyoto.
Rupanya, lanjut Agus, tahun 1513 Raden Patah sudah meninggal. Karena para peneliti itu menyebut di situ rajanya Raja Patiunus, anaknya Raden Patah. Lalu, pada 1522 seorang berkebangsaan Italia, Antonio Gutapeta, datang juga ke Jawa. Dia mendaftar bahwa seluruh Jawa mukminat.
“Artinya, kalau kita melihat, dakwah Wali Songo dari tahun 1470 sampai 1513 (40 tahunan), bagaimana bisa mengislamkan seluruh tahah Jawa. Itu yang sampai waktu ini jadi misteri jatah para sejarawan, terhitung satu peneliti yang menyatakan bahwa dakwah Islam di Jawa itu paling tiada jelas. Kenapa? Karena nggak masuk akal,” ujar Agus Sunyoto disambut senyum simpul para dosen.Dalam tempo begitu singkat, tambah Agus, Wali Songo mampu mengubah masyarakat dari tiada Islam seperti pemeluk Islam. Gerakan dakwah apakah yang dilakukan. “Kita kesampingkan aja bagaimana pola serta sistem dakwahnya. Yang jelas, kita mendapatkan satu fakta bahwa gerakan para wali intern proses islamisasi ternyata melahirkan satu yang diproduksi pengetahuan . Ini merupakan kelanjutan dari Majapahit,” tuturnya.
Wakil Ketua Lesbumi ini menilai, sebelum dakwah para wali secara terorganisasi Islam tiada bisa dianut masyarakat pribumi karena sejak awal orang-orang di Nusantara tergolong masyarakat yang sudah tinggi ilmu pengetahuan serta teknologinya.
“Kita ambil contoh aja, era pertama masehi, orang Nusantara sudah mengenal kalender. Kalender Jawa itu waktu ini usianya 1948 M. Sementara, kalender hijriyah 1436 H. Ada selisih 500 tahun. Memang, teknologinya sudah maju,” cetusnya.
Ketika terjadi islamisasi, lanjut Agus, justru pada saat pengetahuan yang dikembangkan kerajaan besar seperti Sriwijaya serta Majapahit jatuh akibat perang berkepanjangan.
“Di situlah generasi Islam era Wali Songo membangun peradaban terhitung ilmu-ilmu pengetahuan ,” tegasnya.
Manunggaling Kawulo-Gusti
Lebih lanjut Agus Sunyoto memberi contoh misalnya intern Sosiologi. Masyarakat Majapahit saat itu hanya mengenal dua jenis komunitas yang ada di wilayah. Pertama, golongan Gusti, yaitu masyarakat yang tinggal di keraton. Mayoritas beragama Hindu. Sementara di Sriwijaya beragama Budha.
Kedua, masyarakat di luar keraton yang disebut kawulo, artinya budak. Mayoritas dari mereka beragama Kapitayan, bukan Hindu bukan pula Budha. Kapitayan itu agama Nusantara yang oleh orang Belanda disebut seperti agama Animisme-Dinamisme.
“Jadi, mereka tiada mengenal dewa-dewi. Sebaliknya, mereka hanya mengenal persembahan ke punden-punden serta pemujaan kepada leluhur. Mereka menjadikan cungkup seperti tempat ziarah. Ini bedanya beserta Hindu serta Budha. Nah, ziarah itu tamat murni Nusantara,” papar Agus.
Pada era Wali Songo, kata Agus, muncul fenomena terutama ajaran Syekh Siti Jenar, yakni Manunggaling Kawulo-Gusti. Antara golongan gusti serta kawulo sebenarnya satu. Melalui dukuh-dukuh yang masuk kawasan Lemah Abang dibentuk sebuah komunitas bukan lagi bernama kawulo, tapi masyarakat.
“Istilah ini diambil dari kata musyarakah yang berarti orang sederajat yang bekerja sama. Konsep ini ndak ada di Timur Tengah. Ini ndak ada kesukuan, tapi orang kerja sama. Nggak peduli suku apapun, agama apapun, yang penting ia bukan kawulo. Nah, di komunitas ini lalu diperkenalkan istilah seperti ‘hak’ serta ‘milik’. Pelan-pelan, bahasa Arab itu pun masuk,” urainya.
Padahal, lanjutnya, kawulo atau budak itu tiada menyandang hak serta milik. Rumah, bayi serta istri milik kaum gusti. “Jadi, kalau ada gusti berburu lewat kampung lalu ada perempuan indah, diambil aja. Nggak peduli itu bayi atau istri orang. Tapi kalau di Lemah Abang mereka pasti melawan,” ungkapnya. (Musthofa Asrori/Mahbib, NU Online)
Source Article and Picture : www.wartaislami.com