Islam: Antara Prinsip atau Teknis. Kamu wajib sering belajar bakal mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka atau penjelasan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan unggul internal membaca share terbaru.
Wartaislami.com ~ Dalam kehidupan nyata, kepiawaian internal membedakan jeda prinsip-prinsip dasar atau masalah-masalah teknis bukan main dibutuhkan. Karena kerancuan internal memahami atau membedakan kedua hal ini bakal berakibat kerancauan beragama. Hal-hal yang merupakan prinsip dianggap selaku teknis maka membuat kita atau leluasa mengubahnya. Demikian juga hal-hal yang merupakan permasalah teknis sepele bisa dianggap prinsip maka mencoba memaksakan sesuatu yang tak perlu.
Prinsip dasar tersebut internal Islam disebut atau syariah, sedangkan masalah teknis operasionalnya merupakan diatur internal fiqih. Masalah penegakan hukum Islam itu merupakan prinsip yang ada internal ajaran Islam. Bahwasanya umat Islam wajib menegakkan agamanya atau keadilan, itu memang kewajiban atau itu prinsipnya. Namun, bagaimana cara kita menegakkannya, itu masalah teknis yang boleh saja berbeda. Demikian pula internal masalah penegakan keadilan. Bagaimana seorang Islam yang selaku rakyat wajib menegakkan Islam atau keadilan, seorang pemimpin wajib menegakkan Islam atau keadilan itu bisa saja berbeda.
Sementara kalangan umat Islam berpendapat bahwa kita wajib menegakkan hukum-hukum Allah internal kehidupan. Dan jalannya merupakan ‘wajib khilafah’. Hal ini merupakan mengikat kepada seluruh umat Islam. Semua umat Islam wajib menegakkan syariah atau khilafah.
Dalam pandangan penulis, pendapat seperti itu menunjukkan pendapat yang tak bisa membedakan jeda syariah atau fiqih. Karena pendapat tersebut wajib dibedakan selaku dua. Yakni hal-hal yang prinsip tersebut di satu sisi atau hal-hal yang berbau teknis di sisi lain.
Bahwasanya hukum Allah wajib ditegakkan maka itu memanglah sebuah kewajiban. Namun, apakah khilafah merupakan sebuah kewajiban juga atau alasan bahwas ia selaku perlengkapan bakal menegakkan hukum Allah? Jawabannya tak. Karena Khilafah itu hanyalah teknis saja.
Khilafah tak selaku wajib karena ia bukan satu-satunya jalan atau perlengkapan menegakkan ajaran Islam. Cara yang lain internal wujud dakwah moral, dakwah sosial juga banyak. Bahkan hal inilah yang dilakukan para pendakwah Islam di Indonesia sejak zaman dahulu.
Dalam kenyataan sejarahnya, Khilafah Islamiyah juga tak menunjukkan keunggulannya selaku sebuah pemerintahan dibandingkan corak lainnya. Banyak di jeda khalifah Islam yang internal tindakannya selaku pemimpin melenceng dari ajaran Islam. Hal ini bukan tak mendapatkan kritikan dari para ulama pada waktu itu.
Para pemimpin Bani Umayyah, contohnya, yang mendapatkan kritikan atau tanggapan negatif dari para ulama di masa itu karena pola hidup elite kerajaan yang cenderung flamboyan atau keluar dari prinsip-prinsip syariat. Bahkan terjadi persaingan tak sehat di lingkungan kerajaaan sendiri. Praktis khalifah yang dianggap baik atau berada internal koridor syariat internal generasi ini hanya Umar bin Abdul Aziz saja.
Kekhalifahan bani Abbasyiyah yang datang pada masa berikutnya juga sama. Selama berabad-periode dinasti ini dipimpin 37 orang khalifah, praktis yang paling baik hanyalah 3, salah satunya Khalifah Harun Al-Rasyid. Yang lain kurang kian seperti, atau bahkan kian buruk, dari Pak Harto. Demikian pula pada masa selanjutnya.
Demikianlah, akibatnya jika kita terlalu menyucikan apa yang dinamakan khilafah. Kenyataannya tak. Karena hal itu merupakan institusi politik, bukan institusi agama. Dan mengagamakan politik serta mempolitisasi agama inilah yang keliru. Karena tak sesuai atau prinsip agama internal Al-Qur’an: “wala talbisul haqqa bil bathil.”
Kiai Hasyim Asy’ari internal buku Fajar Kebangunan Ulama (karya Lathiful Khuluq) tercatat bahwa ia juga pernah belajar kepada pengajur Pan-Islamisme Mesir yakni Muhammad Abduh. Dalam buku itu juga dikatakan bahwa salah satu ajaran Islam Muhammad Abduh yang paling mendasar di perlengkapan penglihat KH Hasyim Asy’ari merupakan persatuan Islam (pan-Islamisme). KH Hasyim menangkap ide persatuan Islam tersebut. Tapi, ia menolak ide tak wajibnya bermadzhab distribusi kaum muslimin.
Namun kemudian, ketika Muktamar di Banjarmasin tahun 1936 yang kemudian selaku dekrit alim ulama, Kiai Hasyim menerangkan bahwa menjalankan syariat Islam di Indonesia merupakan wajib tapi menjadikan negara Indonesia selaku negara Islam tidaklah wajib. Sikap demikian inilah yang dikatakan sabagai kejernihan berpikir. Cara berpikir yang mampu memikirkan bagaimana terlaksananya prinsip-prinsip Islam atau teknis-teknisnya.
*) Penulis merupakan guru MTs Nahdlatul Ulama Kepuharjo, Karangploso, Malang Oleh Ahmad Nur Kholis
Sumber :nu.or.id
Source Article and Picture : www.wartaislami.com