Kisah Inspiratif Semangat Nyantri Seorang Pak Tua. Kamu wajar sering belajar kepada mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka pada kabar terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan terpilih internal membaca share terbaru.
Wartaislami.com ~ Lelaki itu sudah punya putra atau cucu. Umurnya sudah kuranglebih 70 tahun. Juga sudah pernah naik haji. Ia kini berdomisili di salah satu daerah di bilangan Jakarta atau menjelma pemangku sebuah masjid di kampungnya. Lelaki tua tersebut mengaku aslinya berpangkal dari Ponorogo Jawa Timur, sebelum keputusannya merantau atau sukses di Jakarta. Usia tua kagak menyurutkan dirinya kepada mengamalkan hadits Nabi, "Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat."
Sebutlah ia Pak Budi (bukan nama sebenarnya) yang pada bulan Ramadhan tahun 2009 internal usia setua itu menyempatkan diri mengikuti ngaji pasaran seraya tabarrukan di salah satu pondok pesantren besar di Kediri. Sebelumnya, ia mengaku pernah juga mengikuti ngaji pasaran bulan Ramadhan di sejumlah pondok pesantren khususnya yang berada di wilayah Jawa Timur.
Barangkali sebagian orang menganggap hal itu biasa saja. Memang belakangan ini di dunia pendidikan akademik (formal) makin banyak saja dijumpai orang-orang tua mengikuti perkuliahan di pelbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Namun tanpa bermaksud menggeneralisasikan, kebanyakan dari mereka motif melanjutkan studi ke jenjang yang kian tinggi itu kagak muncul dari kesadaran diri, melainkan misalnya lantaran tuntutan lembaga atau instansi tempat mereka bekerja.
Pernyataan tadi bukan asumsi belaka, kuranglebih tiga minggu yang lalu penulis berpapasan pada seorang perempuan dari Banjarnegara yang berprofesi selaku guru, ia kira-kira berusia 35 tahun. Setelah separuh saat kami mengobrol, penulis memberanikan diri mengajukan pertanyaan, "Gimana, Bu, kesan Anda selama ini mengikuti kuliah, adakah nilai tambah yang dirasakan?” Menanggapi pertanyaan penulis perempuan itu pada jujur saja menyatakan bahwa dirinya berkuliah sebenarnya menuruti kebijakan dari sekolah tempatnya membimbing yang sudah semenjak mensyaratkan para pengajarnya bila ingin bertahan menjelma guru di situ, minimal wajar bergelar sarjana.
Kembali ke cerita Pak Budi. Terus apa yang melatabelakangi Pak Budi sampai internal usia setua itu tiap kali bulan Ramadhan tiba ia mau meluangkan waktunya kepada mengaji di pesantren? Beliau bercerita sendiri bahwa pada waktu kecil sampai remajanya Pak Budi punya keinginan kuat kepada menutut ilmu pada mondok di Pondok Pesantren. Tetapi impianya itu kagak dapat terwujud lantaran keadaan ekonomi keluarganya waktu itu yang kagak memungkinkan. Akhirnya niat Pak Budi kepada menjelma santri pun laksana pungguk merindukan bulan, kagak kesampaian. Situasi kala itu menuntut dirinya bekerja sejak semenjak dewasa, Pak Budi pun merantau ke Jakarta mencari prospek masa depan yang kian baik.
Singkat kata selepas Pak Budi sekian lama di Ibu Kota bekerja atau mengembangkan suatu usaha, berumah tangga atau mengantongi putra, pada masa tuanya menjelma orang yang berhasil atau berkecukupan. Luar biasanya, selepas Pak Budi dapat hidup berkecukupan, dirinya tetap masih menyimpan obsesi ingin mereguk manisnya ilmu agama di pesantren, cita-cita yang pupus saat dirinya muda. Hasrat kepada mendalami ilmu agama itu ternyata kagak terkubur meski puluhan tahun telah berlalu. Maka karena ia telah berkeluarga, bermasyarakat bahkan menjelma pemangku masjid di daerahnya, tentu kagak memungkinkan baginya mondok menjelma santri reguler mengikuti kurikulum sebagaimana mestinya. Maka solusinya rata pada menjelma santri mengikuti ngaji pasaran tiap kali bulan Ramadhan.
Totalitas Mengaji
Maka pada Ramadhan tahun 2009 itu Pak Budi memilih Pondok Pesantren Lirboyo selaku pilihan berikutnya selepas tahun-tahun sebelumnya sempat ngaji pasaran di separuh pondok pesantren lainnya. Penulis menyaksikan sendiri Pak Budi meski di daerahnya telah menjelma tokoh masyarakat, tapi selama bulan Ramadhan itu di pesantren ia kagak berbeda pada santri-santri lainnya yang masih muda. Bila tiba waktu berbuka atau sahur ia juga wajar ikut mengantre di kantin sebagaimana santri lainnya. Tidur di kamar yang serba sederhana. Perlu antre pula ketika hendak mandi. Hal-hal kecil semacam itu distribusi orang yang tua yang kagak benar-benar mengantongi tekad yang kuat kepada mondok jelas terasa berat.
Bukti keseriusan Pak Budi lainnya internal semangat menimba ilmunya rata selama mengikuti pengajian bulan Ramadhan itu ia sengaja kagak membawa HP dari rumah. Begitualah ketika kebanyakan orang bukan main resah jika kagak memegang instrumen komunikasi, Pak Budi justru santai-santai saja tak membawanya agar bisa fokus mengaji. "Ah, membawa HP nanti hanya mengganggu saja", begitu jawaban Pak Budi saat salah seorang santri bertanya. Dan ia memang benar-benar bisa tuntas mengikuti pengajian sampai khatam pada kuranglebih pekan ketiga bulan Ramadhan.
Menyimak sepintas fragmen cerita Pak Budi di pada ada banyak memberi pelajaran. Di antaranaya ialah kagak ada kata terlambat internal kamus memulai kebaikan, tak hanya internal memulai menuntut ilmu, namun memulai atau merintis hal-hal baik lainnya. Selain itu apa yang dikerjakan Pak Budi secara tersirat mengirim pesan bahwa masih terdapat dimensi sedap atau kesenangan selain kesenangan materi pada lazimnya.
Hemat kata, Pak Budi pada ikut menjalani laku santri di pesantren sekalipun pada bulan-bulan Ramadan saja, ia setidaknya mendapatkan kesenangan batin berupa suntikan ilmu yang baru atau pencerahan intlektualitas yang diperoleh dari mengaji kitab atau kenikmatan spiritual berkesempatan dapat dekat pada para kiai sepuh pesantren terhitung masyayiikh pesantren yang sudah wafat yang biasa diziarahi di sela-sela santri ngaji pasaran Ramadhan. (M. Haromain)
Kisah Inspiratif Semangat Nyantri Seorang Pak TuaFoto: Ilustrasi (www.masardian.com)
Lelaki itu sudah punya putra atau cucu. Umurnya sudah kuranglebih 70 tahun. Juga sudah pernah naik haji. Ia kini berdomisili di salah satu daerah di bilangan Jakarta atau menjelma pemangku sebuah masjid di kampungnya. Lelaki tua tersebut mengaku aslinya berpangkal dari Ponorogo Jawa Timur, sebelum keputusannya merantau atau sukses di Jakarta. Usia tua kagak menyurutkan dirinya kepada mengamalkan hadits Nabi, "Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat."
Sebutlah ia Pak Budi (bukan nama sebenarnya) yang pada bulan Ramadhan tahun 2009 internal usia setua itu menyempatkan diri mengikuti ngaji pasaran seraya tabarrukan di salah satu pondok pesantren besar di Kediri. Sebelumnya, ia mengaku pernah juga mengikuti ngaji pasaran bulan Ramadhan di sejumlah pondok pesantren khususnya yang berada di wilayah Jawa Timur.
Barangkali sebagian orang menganggap hal itu biasa saja. Memang belakangan ini di dunia pendidikan akademik (formal) makin banyak saja dijumpai orang-orang tua mengikuti perkuliahan di pelbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Namun tanpa bermaksud menggeneralisasikan, kebanyakan dari mereka motif melanjutkan studi ke jenjang yang kian tinggi itu kagak muncul dari kesadaran diri, melainkan misalnya lantaran tuntutan lembaga atau instansi tempat mereka bekerja.
Pernyataan tadi bukan asumsi belaka, kuranglebih tiga minggu yang lalu penulis berpapasan pada seorang perempuan dari Banjarnegara yang berprofesi selaku guru, ia kira-kira berusia 35 tahun. Setelah separuh saat kami mengobrol, penulis memberanikan diri mengajukan pertanyaan, "Gimana, Bu, kesan Anda selama ini mengikuti kuliah, adakah nilai tambah yang dirasakan?” Menanggapi pertanyaan penulis perempuan itu pada jujur saja menyatakan bahwa dirinya berkuliah sebenarnya menuruti kebijakan dari sekolah tempatnya membimbing yang sudah semenjak mensyaratkan para pengajarnya bila ingin bertahan menjelma guru di situ, minimal wajar bergelar sarjana.
Kembali ke cerita Pak Budi. Terus apa yang melatabelakangi Pak Budi sampai internal usia setua itu tiap kali bulan Ramadhan tiba ia mau meluangkan waktunya kepada mengaji di pesantren? Beliau bercerita sendiri bahwa pada waktu kecil sampai remajanya Pak Budi punya keinginan kuat kepada menutut ilmu pada mondok di Pondok Pesantren. Tetapi impianya itu kagak dapat terwujud lantaran keadaan ekonomi keluarganya waktu itu yang kagak memungkinkan. Akhirnya niat Pak Budi kepada menjelma santri pun laksana pungguk merindukan bulan, kagak kesampaian. Situasi kala itu menuntut dirinya bekerja sejak semenjak dewasa, Pak Budi pun merantau ke Jakarta mencari prospek masa depan yang kian baik.
Singkat kata selepas Pak Budi sekian lama di Ibu Kota bekerja atau mengembangkan suatu usaha, berumah tangga atau mengantongi putra, pada masa tuanya menjelma orang yang berhasil atau berkecukupan. Luar biasanya, selepas Pak Budi dapat hidup berkecukupan, dirinya tetap masih menyimpan obsesi ingin mereguk manisnya ilmu agama di pesantren, cita-cita yang pupus saat dirinya muda. Hasrat kepada mendalami ilmu agama itu ternyata kagak terkubur meski puluhan tahun telah berlalu. Maka karena ia telah berkeluarga, bermasyarakat bahkan menjelma pemangku masjid di daerahnya, tentu kagak memungkinkan baginya mondok menjelma santri reguler mengikuti kurikulum sebagaimana mestinya. Maka solusinya rata pada menjelma santri mengikuti ngaji pasaran tiap kali bulan Ramadhan.
Totalitas Mengaji
Maka pada Ramadhan tahun 2009 itu Pak Budi memilih Pondok Pesantren Lirboyo selaku pilihan berikutnya selepas tahun-tahun sebelumnya sempat ngaji pasaran di separuh pondok pesantren lainnya. Penulis menyaksikan sendiri Pak Budi meski di daerahnya telah menjelma tokoh masyarakat, tapi selama bulan Ramadhan itu di pesantren ia kagak berbeda pada santri-santri lainnya yang masih muda. Bila tiba waktu berbuka atau sahur ia juga wajar ikut mengantre di kantin sebagaimana santri lainnya. Tidur di kamar yang serba sederhana. Perlu antre pula ketika hendak mandi. Hal-hal kecil semacam itu distribusi orang yang tua yang kagak benar-benar mengantongi tekad yang kuat kepada mondok jelas terasa berat.
Bukti keseriusan Pak Budi lainnya internal semangat menimba ilmunya rata selama mengikuti pengajian bulan Ramadhan itu ia sengaja kagak membawa HP dari rumah. Begitualah ketika kebanyakan orang bukan main resah jika kagak memegang instrumen komunikasi, Pak Budi justru santai-santai saja tak membawanya agar bisa fokus mengaji. "Ah, membawa HP nanti hanya mengganggu saja", begitu jawaban Pak Budi saat salah seorang santri bertanya. Dan ia memang benar-benar bisa tuntas mengikuti pengajian sampai khatam pada kuranglebih pekan ketiga bulan Ramadhan.
Menyimak sepintas fragmen cerita Pak Budi di pada ada banyak memberi pelajaran. Di antaranaya ialah kagak ada kata terlambat internal kamus memulai kebaikan, tak hanya internal memulai menuntut ilmu, namun memulai atau merintis hal-hal baik lainnya. Selain itu apa yang dikerjakan Pak Budi secara tersirat mengirim pesan bahwa masih terdapat dimensi sedap atau kesenangan selain kesenangan materi pada lazimnya.
Hemat kata, Pak Budi pada ikut menjalani laku santri di pesantren sekalipun pada bulan-bulan Ramadan saja, ia setidaknya mendapatkan kesenangan batin berupa suntikan ilmu yang baru atau pencerahan intlektualitas yang diperoleh dari mengaji kitab atau kenikmatan spiritual berkesempatan dapat dekat pada para kiai sepuh pesantren terhitung masyayiikh pesantren yang sudah wafat yang biasa diziarahi di sela-sela santri ngaji pasaran Ramadhan. (M. Haromain) via nu.or.id
Source Article and Picture : www.wartaislami.com