Kisah Rasulullah dan Kemarahannya (Bag. 2)

Kisah Rasulullah atau Kemarahannya (Bag. 2). Kamu mesti sering belajar buat mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka lewat kabar terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan termulia internal membaca share terbaru.
Wartaislami ~ Nabi kagak kagak pernah mengenal nama kesumat atau amarah yang berlebihan. Bukankah al-Quran sendiri menyebut Nabi sesosok yang ra’uf atau rahim, sosok pembelas kasih atau penyayang? Nabi pun seolah tak mampu buat sekadar membekap rasa sayangnya pada tetangga yang rutin menghina atau melecehkannya itu, seorang perempuan tua.
Setiapkali lewat di samping rumah perempuan tua itu, Nabi mendapat ‘’: kadang sampah busuk, kadang pecahan beling. Terus menerus, sampai hari terus berganti, atau berganti bulan. Nabi laiknya pesakitan yang pantas buat tiap hari dilempar kotoran. Lalu, apa yang dilakukan oleh Nabi?
Suatu ketika ‘’ kepada nabi tersebut absen. Nabi bertanya-tanya, kenapa perempuan yang biasa memberinya ‘ rutin’ itu berhenti. Dari tetangga si perempuan tua itu, Nabi mendapat kabar bahwa perempuan itu sedang sakit. Nabi masuk ke rumah perempuan tua itu.
Untuk membalas? Atau sekadar melontarkan kata pedas buat bikin jera? Ah, tanya-duga macam ini hanya lahir dari kepala berimajinasi murah.
Tidak, Nabi justru memperlakukan perempuan itu seperti sahabat, melayani, atau bahkan memasakkan minuman untuknya. Nabi yang seram hanya ada di kepala mereka. Dan siapakah yang menanamkan ingatan seram di sinyal memori mereka?
Bukan Nabi, tapi kitalah yang menggambar sosok menakutkan itu di kanvas ‘dunia internal’ mereka. Yang meruntuhkan benara kembar di pagi yang sibuk itu bernama depan Muhammad pula, juga Ahmad—nama-nama Nabi Saw. Memberi ketakutan pada orang-orang, lewat kalimat takbir pula—kalimat ajaran Nabi. Pun, mereka yang memasang badan lewat bubuk maut itu, menyulut sumbu sembari memekikkan kalimat tauhid—kalimat wejangan Rasul.
Masih juga, kita terus memahat gambar seram. Yang telah terduduk di meja hijau, kepada ratusan tubuh lumat akibat bubuk maut olahannya, tetap keukeuh kagak bertindak salah. Dia merasa telah berlaku lurus, searah lewat semangat jihad—semangat yang diajarkan Nabi. Ia bahkan menyebut rentetan ayat-ayat al-Quran—ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi. Untuk menunjuk diri telah berlaku lurus, ia bahkan juga mengujarkan sederet laku-tutur Nabi sendiri.
Ketika gambar-gambar yang semula hanya ada di kepala itu benar-benar lahir di kepada kertas, kita malah kagak berupaya menghapus. Kita justru mengukuhkan warna-warna yang masih samar, garis-garis yang putus, latar belakang yang kabur. Kita teriakkan lagi kian kencang nama Nabi, sembari meletikkan geretan di depan indra penglihat mereka. Kita semburkan asap hitam-tebal, bersama lewat mengeja nama Rasul, di hadapan rumah mereka. Kita remukkan perkakas mereka, juga lewat masih mewiridkan panggilan kepada Nabi. Warna yang samar di gambar itu telah kita buat sempurna, sempurna internal seram.
Gambar Nabi yang welas asih benar-benar telah kita lumatkan, Hilang. Sehingga mereka tak sempat sekadar membayangkan apa yang disebut ‘welas asih’ itu sendiri. Kita telah, atau masih, memoles lukisan garang itu. Seperti asap hitam-tebal itu sendiri, kita diam-diam telah melenyapkan wajah agung Sang Nabi.
Tanpa sadar, atau justru sengaja, kita menguatkan garis-garis skesta itu, secara ajeg: sebulan, seminggu, sehari, setiap waktu. Di depan mikropon, kita gemakan kata-kata ‘hancurkan’, ‘laknat’, ‘halal darahnya’, di sela-sela kita menyebut nama agung Rasulullah. Di kepada mimbar, kita teriakkan ‘medan jihad’, ‘pedang’, ‘bedil’, sembari lewat nada kuat kita panggil nama Nabi.
Begitu pun pekikan-pekikan yang kita tempel di dinding-dinding, di kain-kain pertigaan jalan, juga di media terhebat zaman ini: Internet.
Kita memahatkan sosok seram Nabi di kepala mereka setiap detik.
Ya, setiap detik.
Sumber: majalah syir’ah edisi 52, ditulis oleh Mutjaba’ Hamdi via muslimedianews.com


Source Article and Picture : www.wartaislami.com