Panas Dingin Diskusi Islam Nusantara di Malang

Panas Dingin Diskusi Islam Nusantara di Malang. Kamu wajib sering belajar buat mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka oleh kabar terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan termulia intern membaca share terbaru.
Wartaislami.com ~ Pada Sabtu, 14 Februari 2016 di gedung utama rektorat Universitas Negeri Malang (UM) sejumlah kiai serta tokoh NU berkumpul buat mengikuti seminar nasional serta bahtsul masail oleh tema “Mengalahkan Ekstrimisme intern Kehidupan Berbangsa” hasil kerja sama jarak Universitas Negeri Malang (UM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
Dalam diskusi Islam Nusantara ini dibagi jarak kelompok NU serta kelompok akademisi yang terdiri dari 37 orang peserta dibagi intern tiga kelompok diskusi panel. Mereka mempresentasikan paper mengenai Islam Nusantara yang telah dibuat sebelumnya. Kelompok yang mendapat serta menolak tema Islam Nusantara duduk bersama oleh suasana serius serta menegangkan. Tentu perdebatan kadang bisa berlangsung cukup panas. Acara ini berlangsung di 3 (tiga) ruangan khusus secara bersamaan buat menghasilkan draft awal mengenai rumusan definisi mengenai apa yang dinamakan Islam Nusantara.
Sedangkan sentuhan santai serta dinginnya seimbang Bahtsul Masail NU yang berlangsung di ruang utama rektorat, di mana acara ini dihadiri oleh para kiai serta santri yang merupakan utusan dari cabang-cabang NU di Jawa Timur. Mereka juga bertujuan buat merumuskan definisi Islam Nusantara serta karakteristiknya.
Ada seorang peserta mengkritisi usulan terhadap strategi serta media dakwah NU ala Walisongo semisal wayang kulit, sinden serta sebagainya. Dengan bukan main serius ia berkata,
“Kalau ane melihat dari draft yang dihasilkan mengenai strategi dakwah Islam Nusantara, ini semua ala Walisongo. Tidak ada yang lain,” katanya.
“Mengapa kita masih memakai cara ini. Ini kan dipakai Walisongo terhadap masyarakat Nusantara masa itu yang belum mengenal Islam. Sekarang masyarakat kita sudah mengenal Islam, wajib beda cara dakwahnya,” tambahnya lagi. Dan suasanapun seperti panas.
“Ya, usulan bagus, tapi contohnya apa?” kata Ustadz Muntaha seperti moderator, disambut senyum serta tawa seputar hadirin. Suasana seperti cukup dingin kembali.
Hadir intern acara seperti perumus serta musyayih. Beberapa kiai dari PWNU Jawa Timur seperti KH Marzuqi Mustamar (Malang), KH Muhib Aman Aly (Pasuruan), KH Azizi Hasbullah (Blitar), KH Farichin Muhshan (Malang) serta seputar kiai lain. Merekalah yang merumuskan redaksi kesimpulan yang dihasilkan dari diskusi, pertanyaan-pertanyaan serta berbagai usulan-usulan penambahan atau pengurangan para komponen sidang.
Keputusan yang dihasilkan forum ini intern rencananya masih hendak ditashih serta diperiksa kembali oleh para kiai khusus yang berkumpul di salah satu pondok pesantren di Singosari Malang.
Tidak hanya usulan dari para komponen yang panas-dingin sebagaimana telah digambarkan. Bahkan diantara perumus serta masyayih pun terjadi perbedaan. Ada yang menolak serta ada pula yang mendapat. Seperti wacana yang disampaikan KH Muhibbul Amani yang alumni Sidogiri Pasuruan serta KH Marzuqi Mustamar (santri KH Masduqi Mahfud (alm) Malang).
Pertama-tama KH Muhibbul Amani menjelaskan perlunya mengoreksi metode dakwah Walisongo intern konteks saat ini. Karena ia menilai bahwa mencari tokoh sehebat Walisongo waktu ini ini seimbang bukan main sulit. Sehingga jika melakukan dakwah oleh ala Walisongo hanya hendak berakibat buruk. Ia khawatir metode dakwah adaptif yang digunakan Walisongo jaman dahulu hanya hendak membahayakan.
“Katakanlah kita dakwah oleh ikut dangdutan di tengah masyarakat. Misalkan ada orang yang menceritakan ane dangdutan karena niatan dakwah. Persoalannya waktu ini berapa orang yang ikut ia bertobat dari dangdutan karena ia. Atau bisa jadi ia yang tambah rusak senang dangdutan,” katanya tegas.
“Bahkan ane khawatir malah orang-orang seperti banyak dangdutan karena dipikirnya dangdutan oleh jogetan-jogetannya yang semacam itu diperbolehkan. Ini kan seperti bahaya. Mencari figur yang kuat seperti Walisongo waktu ini bukan main sulit,” tambahnya.
“Seperti kalau kita melihat sinden-sinden yang bajunya ketat, lalu kita ke sana. Persoalannya seimbang seberapa banyak yang kita kenalkan pada Islam melalu cara itu. Harus dibedakan konteks Walisongo oleh waktu ini,” tambahnya lagi.
Ini rupanya hukum yang enggak menyetujui dakwah yang adaptif. Banyak dalil dari kitab-kitab fiqih yang dikemukakan Kiai asal Probolinggo itu. Begitu juga ayat Al-Qur’an ataupun Hadits.
Pada kesempatan berikutnya, KH Marzuqi diberi kesempatan buat memberikan pendapat oleh moderator. Dalam kesempatan itu Kiai Marzuqi menyampaikan mengenai pentingnya kalangan pesantren yang bertugas mendakwahkan Islam oleh benar buat meninjau langsung ke lokasi. Hal ini diperlukan buat membaca situasi serta menetapkan cara yang jitu mengenai strategi dakwah yang wajib dilakukan.
“Cobalah kita kita datang langsung ke daerah-daerah pelosok yang mana mereka belum mengenal Islam. Kita amati kehidupan mereka bagaimana karakternya, bagaimana cara hidupnya serta sebagainya,” katanya.
“Coba kita KKN di Wagir yang mayoritas abangan, kita KKN di Bali serta Papua di mana umat Islam di sana bukan main secuil. Kita hendak merasakan bagaimana sulitnya dakwah di sana,” tambahnya.
“Saya pernah sebelas hari di Timika, Papua engkau tahu bagaimana kondisi di sana. Alhamdulillah sehabis berjumpa serta berinteraksi oleh masyarakat, banyak juga yang mau kita ajak kepada Islam. Kita bimbing buat membaca syahadat,” katanya menceritakan pengalamannya.
Yang membuat dirinya bingung, ketika mereka mau baca syahadat, yang perempuan mau memakai pakaian yang cukup pantas. Hanya saja yang jantan-jantan mereka enggak mau mengganti kotekanya. Akhirnya shalat jamaah oleh kondisi seperti itu.
“Sulitlah kami mencari hukumnya secara fiqih. Saya masih belum mendapatkan di berbagai macam buku fiqih,” imbuhnya.
Dengan kepiawaiannya berceramah serta penyampaiannya yang mudah dipahami, ceramah Kiai Marzuki mendapatkan khotbah tepuk tangan dari para hadirin.
Namun dua pendapat tersebut ditutup oleh memberikan jalan tengah di jarak keduanya. Yakni oleh langkah-langkat strategis intern dakwah meliputi: 1) Sikap adaptif (menyesuaikan diri) porsi budaya yang sesuai oleh syariat; 2) Meminimalisir mudharat porsi budaya yang bisa ditekan kebahayaannya: 3) Memilih yang makin maslahat; serta 4) Mengamputasi (menghilangkan) sebuah budaya yang enggak sesuai oleh syariat Islam secara bertahap. Dan inilah strategi dakwah Islam Nusantara. (Ahmad Nur Kholis/Mukafi Niam)via nu.or.id


Source Article and Picture : www.wartaislami.com